"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Selasa, 19 September 2017

Riwayat Pemberontakan el Comandante FIDEL CASTRO

Riwayat Pemberontakan el Comandante FIDEL CASTRO


Penulis: Wahyu Budi Nugroho
Editor: Gede Kamajaya
Penerbit: SOCIALITY, Yogyakarta
Cetakan Pertama, Agustus 2017
ISBN: 978-602-6673-17-6
164 hal; 14 cm x 20 cm


Distributor: PT AHI
Jl. Imogiri Barat km 4,5 No. 95
Randubelang, Sewon, Bantul, DIY.
Telp. (0274) 379444


Rabu, 07 Juni 2017

Mengapa Kita Selfie?

Mengapa Kita Selfie?*
Investigasi Psikologi Eksistensial dan Psikoanalisis Radikal


Wahyu Budi Nugroho
Sosiolog Universitas Udayana

Tentang “Diri yang hilang”
Tulisan ini berawal dari satu tesis mengenai “diri yang hilang”. Pengertian “diri yang hilang” sebagaimana dimaksudkan di sini sama sekali tak berkaitan dengan kooptasi struktur, sistem, atau semacamnya; melainkan berada di ranah psikologis dan menyangkut peristilahan subjectum dengan subjectus (subyek aktif dan subyek pasif). Lebih jauh, tesis “diri yang hilang” juga tak serta-merta dapat dikaitkan dengan diri yang teralienasi secara biologis—tubuh (sema) adalah kuburan jiwa (soma): hidup adalah keterasingan panjang. “Diri yang hilang” di sini mengakui kesatuan jiwa dan raga, kesatuan emosi dan biologis, juga kesatuan pikiran dengan perbuatan. Namun kenyataannya, betapa sering kita kehilangan “diri” ini dan secara sadar maupun tak sadar menciptakan mekanisme tersendiri untuk mempertahankan eksistensinya, baik yang dinilai wajar dan lumrah bagi banyak orang, hingga yang dianggap tak masuk akal.

Kesadaran Nonreflektif: Muara “Diri yang hilang”
Mari kita mulai dari sudut pandang psikologi eksistensial untuk melacak biang diri yang hilang. Psikologi eksistensial ala sartrean mendikotomi dua jenis kesadaran, yakni kesadaran reflektif dan kesadaran nonreflektif. Kesadaran reflektif adalah kesadaran diri sebagai subyek, kesadaran yang memunculkan diri kita, yang dengannya diri kita hadir dan mengada di dunia. Tipe kesadaran ini adalah mode of being ‘cara mengada’ being-for-itself ‘berada bagi dirinya (sendiri)’, yang dengan demikian meniadakan bentuk-bentuk being ‘ada-konkret’ lainnya—hanya ada dirinya semata. Sebaliknya, kesadaran nonreflektif adalah cara mengada being-for-other(s) ‘berada bagi pihak lain’. Dalam kesadaran ini, diri menjadi hilang karena intensionalitas terhadap obyek lain sehingga obyek lain tersebutlah yang utuh, sedangkan diri yang sedang mengamati atau berfokus pada yang lain menjadi hilang. Dengan kata lain, kita meniadakan diri kita demi keberadaan yang lain.

Perbedaan tipe kesadaran reflektif dengan nonreflektif dapat dijelaskan secara mudah lewat contoh klasik seseorang yang tertinggal bus di sebuah halte. Ketika dirinya berfokus pada koran yang dibacanya, maka bentuk kesadaran yang menjangkitinya adalah nonreflektif, dirinya tak ada waktu itu, melainkan sekadar koran yang dibacanya—ia ada untuk koran itu, tetapi tidak untuk dirinya. Ketika pada satu momen ia sadar telah tertinggal bus yang dinantinya, maka sekejap kesadarannya berubah menjadi reflektif: “Aku yang tertinggal bus!”—ada untuk diriku yang tertinggal bus. Perubahan tipe kesadaran dari reflektif ke nonreflektif, dan begitu pula sebaliknya, melibatkan lompatan-lompatan kesadaran yang bersifat sekejap sehingga diri berulangkali hilang dan berulangkali pula ditemukan. Melalui pengkajian psikologi eksistensial ini, diri yang hilang menjadi mungkin, hanya saja ia tak hilang seterusnya, melainkan selalu menunggu untuk ditemukan kembali. Berbeda halnya dengan psikologi eksistensial, psikoanalisis radikal yang hadir hampir bersamaan dengannya di awal tahun 1960-an lewat Jacques Lacan meyakinkan kita bahwa sesungguhnya “diri” tak pernah hilang, melainkan memang “tak pernah ada”.

Ketiadaan Diri yang Diaku Diri
Ketiadaan “Aku” yang diteriakkan lantang oleh Jacques Lacan tak hanya berimplikasi pada bubrahnya tatanan disiplin psikologi yang telah rapi, tetapi juga ranah pengkajian identitas, sosiologi, bahkan secara luas menyokong arus posmodern dalam keilmuan sosial-humaniora terkait hilangnya subyek dan kesadaran, hal sama yang juga didengungkan oleh Michel Foucault. Bagi Lacan, kita takkan pernah benar-benar bisa menemukan “aku murni”. Aku murni yang disangkakan selama ini faktual hanyalah ilusi belaka. Diri yang kita maksud sebagai diri senyatanya tak pernah terbentuk secara otonom—dari dan oleh diri kita sendiri—melainkan selalu melalui penunjukkan orang-orang di sekitar kita sejak kecil, klaim sepihak dari dunia eksternal yang sebetulnya “tak memiliki hubungan apa pun” dengan diri kita sendiri, dan secara manipulatif ditegaskan oleh cermin.

Sebagai misal terbentuknya diri saya, Wahyu Budi Nugroho, dikarenakan sejak kecil orangtua menandai saya dengan nama itu dan memanggil saya “Wahyu”. Dan, ketika saya melihat cermin atau foto keluarga, mereka kian menegaskan bahwa itu adalah diri saya. Namun kenyataannya, “Aku-Wahyu Budi Nugroho” tidak pernah lahir atau muncul dari Aku-Wahyu Budi Nugroho itu sendiri. Lalu, bagaimana dengan cermin atau citra foto yang seolah menegaskan keberadaan diri kita? Sialnya, semua itu tetaplah bukan diri kita. Citra yang muncul di cermin dan kita sangka sebagai “aku” sesungguhnya “hanyalah pantulan cahaya”, begitu juga citra foto yang kita anggap sebagai diri kita, senyatanya tak lebih dari “cahaya yang terperangkap”. Lalu, dimanakah “aku”? Sampai tahap ini, kita sarat menerima kenyataan bahwa “aku yang lahir dari aku sendiri” (aku murni) tidaklah pernah ada, “aku”selalu lahir dari pihak lain dan di luar diri kita. “Aku” yang kita anggap selama ini hanyalah ilusi, dan yang ada sekadar “perasaan menjadi aku” (perasaan keakuan). Ini sekaligus menunjukkan betapa “aku” sesungguhnya sangatlah rentan, ringkih, dan begitu rapuh.

“Perasaan menjadi aku” dijelaskan Lacan sebagai “problem homonculus” atau “persoalan manusia kecil”, bahwa munculnya perasaan keakuan disebabkan oleh keberadaan “si manusia kecil”—seperti dalam film animasi pixar, Inside Out. Tidak jelas apakah konsep manusia kecil ini berkenaan dengan psikologi adlerian (Alfred Adler) yang memandang manusia sebagai makhluk inferior sehingga homonculus dapat muncul sebagai kompensasi atas kegagalan manusia menemukan aku murni. Lebih jauh, Lacan pun tak bisa menjawab pertanyaan: “Apakah di dalam diri manusia kecil terdapat manusia kecil lainnya yang mengendalikan (menjadi ruh) manusia kecil yang lebih besar?”. Namun demikian, semenjak aku murni tak pernah ditemukan dalam diri baik secara sadar ataupun tidak, manusia kemudian memiliki berbagai mekanisme untuk meyakinkan keberadaan aku murni, atau setidaknya: menjaga perasaan menjadi aku.

Selfie: Upaya Peneguhan “Aku” atas Tak Terjangkaunya “Aku Murni”
Kita bisa mengambil jalan cerita lain tentang seorang pemuda tampan yang hidup dalam mitos Yunani Kuno bernama Narcissus. Kegemaran Narcissus memandangi wajahnya yang tampan di permukaan kolam hingga ia terpeleset jatuh dan mati tenggelam sehingga namanya kemudian diabadikan untuk merepresentasikan mereka yang terlampau memuja diri—“narsis”—dapat didekonstruksi betapa sesungguhnya Narcissus adalah sosok yang begitu peka akan hilangnya “aku”. Dengan begitu, aktivitasnya memandangi wajah di permukaan kolam adalah upaya Narcissus untuk mempertahankan perasaan menjadi aku, bukannya suatu aktivitas pemujaan diri.

Kenyataan bahwa kita tak pernah bisa melihat diri kita menimbulkan keterasingan dan perasaan seolah diri adalah arwah tembus pandang yang tak bisa dilihat orang-orang. Kita selalu melangkah dalam kesunyian berikut kewas-wasan dan selalu mengkhawatirkan ketiadaan diri kita di dalam dunia, terutama di antara orang-orang. Ketakutan nyata dalam kondisi ini adalah ketakutan akan keterbuangan dan ketidakacuhan lingkungan karena kita selalu mendapati diri yang hilang dan merasa tak diperhatikan. Dari sinilah aktivitas berkaca menjadi mungkin, bahkan lebih jauh: melakukan selfie (baca: swafoto). Aktivitas berkaca tidak hanya semata-mata bisa dimaknai sebagai aktivitas membenahi rambut, memastikan tak ada yang salah di wajah (misal ada kotoran yang menempel), tetapi lebih dari itu: upaya untuk meneguhkan keberadaan diri kita.

Dalam pengkajian psikologi eksistensial maupun psikoanalisis radikal, konteks berkaca atau swafoto menjadi relevan. Aktivitas tersebut adalah upaya penemuan aku murni yang sebetulnya takkan pernah terjangkau, baik dalam lompatan kesadaran yang sekejap “menghadirkan” dan “mengenyahkan” perasaan menjadi aku, ataupun dalam keakuan (diri) yang tak pernah ditemui dalam psikoanalisis radikal. Ketidakterjangkauan aku murni menyebabkan manusia sibuk mencari “aku-aku yang lainnya”. Aku-aku yang lainnya ini dapat ditemui dalam setiap kali aktivitas berkaca atau swafoto, meskipun kerap tak disadari bahwa aku-aku tersebut hanyalah “aku artifisial” yang tak pernah menjangkau aku murni. Ia berulangkali berkaca, berulangkali pula mengambil gambar swafoto, tetapi semakin sering dan semakin banyak aktivitas itu dilakukan, diri tetap saja hilang dan ajeg meminta ditemukan kembali, dan demikian seterusnya.

Lebih jauh, kadar perasaan menjadi aku pada diri setiap orang berbeda-beda. Terdapat mereka yang melakukan swafoto dan menyimpan untuk dirinya sendiri, tetapi ada juga yang sarat mengunggahnya ke media sosial. Perlu dicatat kiranya, mekanisme swafoto memang dirasa lebih kuat (baca: berdaya) ketimbang bercermin, mengingat dalam swafoto kita seakan berhasil memerangkap diri dan tak membiarkannya lari kemana pun, tak seperti aktivitas berkaca yang umumnya hanya dilakukan sesaat. Namun demikian, di sini kita dapat menakar kadar perasaan menjadi aku antara seseorang yang cukup mengambil gambar swafoto untuk konsumsi dirinya, berbanding mereka yang sarat mengunggahnya ke media sosial. Agaknya, perasaan menjadi aku yang terkuat terdapat pada kelompok pertama, sedangkan perasaan menjadi aku yang terlemah pada kelompok kedua.

Bisa jadi, perasaan menjadi aku pada kelompok pertama (terkuat) mencerminkan pandangan psikologi eksistensial di mana terkadang diri hilang dan terkadang ditemukan. Sementara, perasaan menjadi aku pada kelompok kedua (terlemah) mencerminkan analisis psikoanalisis radikal tentang diri yang tak pernah ada atau selalu hilang. Dalam kategori kedua inilah mengambil banyak swafoto untuk kemudian diunggah ke media sosial dinilai “tak masuk akal” bagi kebanyakan orang. Pelakunya sering dianggap narsis, megalomania, bahkan kerap dikatai tak tahu diri atau tak tahu malu. Terhadap berbagai tanggapan keras ini, izinkan saya memperhalusnya dengan mengatakan bahwa mereka yang mengunggah banyak swafoto ke media sosial sesungguhnya ingin meneguhkan keberadaannya di antara orang-orang, juga dunia. Namun, aktivitas mengunggah banyak swafoto itu sekaligus berarti bahwa seseorang sama sekali tak mempunyai sesuatu pun untuk dikatakan kepada dunia. Tindakan itu hanya berdayaguna bagi dirinya tetapi tidak untuk orang lain, yakni sebentuk upaya guna mencari aku murni yang tak pernah tercapai dan terkompensasikan lewat kian menguatnya perasaan menjadi aku.

Dalam hal ini, kita tak bisa mengatai pelakunya mengidap suatu penyakit jiwa begitu saja mengingat setiap kita memiliki “penyakitnya sendiri”—kehidupan adalah penyakit, kematian adalah obatnya.[1] Sebaliknya, justru mereka yang kerap melakukan swafoto (untuk mengingat kembali, baca: selfie) adalah orang-orang yang selalu mewaspadai hilangnya diri, yang dengan demikian berpartisipasi dalam upaya penciptaan dan peneguhan subyek, dan ini sangatlah positif. Berswafoto atau ber-selfie bukanlah hal tabu lagi memalukan, karena ... apalagi yang tersisa jika aku telah hilang?

Bacaan lanjutan: Pikiranmu.



* Tulisan ini didekasikan untuk Afrilia Utami.
[1] Coba definisikan kata “normal”!

Sabtu, 24 Desember 2016

Analisis Sosial "Telolet"

ANALISIS SOSIAL "TELOLET"
(SOSIOLOGI TELOLET)

[Gambar: merdeka.com] 
Wahyu Budi Nugroho
Sosiolog Universitas Udayana

“Telolet” adalah prinsip kelangkaan. Tidak setiap bus memiliki klakson telolet, dan meskipun ada bus yang memilikinya, belum tentu mereka mau membunyikan klakson telolet-nya. Inilah awalan yang membuatnya menarik, bahkan kini mulai menggejala dimana-mana. Berpegang pada prinsip kelangkaan tersebut, ditambah tidak setiap supir bus mau membunyikannya, telolet seakan menjadi begitu berharga di mata anak-anak. Mereka yang berhasil membuat supir bus membunyikan telolet seolah mendapat “hadiah”.

Permainan telolet ini menjadi kian mengasyikkan ketika digunakan gawai (baca: hp) untuk menangkap momen "peristiwa" dan bunyian telolet. Seperti permainan sepakbola yang memerlukan banyak fokus untuk mempertahankan keseimbangan; dari kaki, kemiringan tubuh yang diatur sedemikian rupa, pandangan mata, gerakan tangan seperti orang menari, hingga koordinasi dengan anggota setim; begitu juga permainan telolet dengan menggunakan gawai. Satu tangan anak-anak sarat mengacungkan jempol agar supir bus bermurah hati membunyikan telolet-nya, sedangkan tangan yang lain memegang gawai untuk merekam momen tersebut dengan baik (baca: sempurna), ditambah lagi keharusan anak-anak meneriakkan “Om, telolet Om!” kala bus hendak melintas. Permainan telolet mengindikasikan adanya fokus, ketepatan, ketangkasan, kecepatan, serta spontanitas karena berlalunya bus tak dapat diulang lagi; dan ketika bunyian telolet diperoleh, maka kepuasan tingkat tinggi pulalah yang dituai anak-anak.

...mengapa? Ini dikarenakan, setiap bus yang melintas adalah “sebuah kemungkinan”. Dalam arti, bisa saja bus tersebut mengabulkan pinta anak-anak untuk membunyikan telolet, atau sebaliknya: tidak. Upaya untuk “mencari kepastian” inilah yang kiranya juga mengasyikkan sekaligus mengusik; antara “iya” dan “tidak”, antara “diberi” atau “tidak diberi”; ibarat pemain hati yang menyatakan cinta ke banyak orang dan tinggal menanti jawaban mereka—iseng-iseng berhadiah. Oleh karenanya kemudian, setiap bus yang melintas selalu mengusik dan menggoda anak-anak, setiap bus yang melintas adalah sebuah “misteri”; apakah ia akan memberikan telolet-nya atau tidak.

Prinsip kedua yang tak kalah penting dari fenomena telolet ini adalah “prinsip pertukaran”. Anak-anak menuai kebahagiaan ketika memperoleh telolet-nya, begitu juga dengan sang supir bus yang membunyikannya. Ini dikarenakan, setelah sekian lama profesi supir bus cenderung terpinggirkan dan menjadi profesi “yang kurang dianggap” di masyarakat—meskipun pemasukan mereka sesungguhnya tak sedikit—kini mereka memperoleh perhatian lebih, bahkan pengakuan dari masyarakat luas, fenomena terkait sedikit-banyak mengangkat gengsi profesi mereka dan menimbulkan kebanggaan tersendiri, bahwa mereka setidaknya dapat "berkontribusi" meskipun hanya lewat bunyian telolet. Dapat dipastikan, akan semakin banyak supir bus yang bermurah hati memberikan telolet-nya pada anak-anak, juga pada orang-orang dewasa yang menunggu mereka di pinggir jalan, bahkan tanpa diminta sekalipun, ini dikarenakan hubungan antara supir bus dengan para “pemburu telolet” sesungguhnya merupakan “hubungan yang saling menguatkan” karena masing-masing pihak merasa diapresiasi, pun sekaligus membuktikan betapa interaksi (kontak sosial) adalah sesuatu yang menyenangkan.

Namun demikian, meskipun kini fenomena telolet mendunia, ia takkan berlangsung lama, akan semakin banyak dijumpai supir bus—dan truk—yang memasang telolet pada armadanya, bahkan masyarakat umum pada kendaraannya. Pun, akan semakin banyak telolet yang diumbar sehingga ia menjadi “mudah” dan murah, ini sekaligus melawan prinsip "kemungkinan" atau “misteri” yang bersifat mengusik dan menggoda. Saat telolet menjadi murah dan mudah itulah kejenuhan akan timbul. Lalu, apa yang mesti kita lakukan? Ya, menikmati telolet selagi menjadi tren. Om, telolet Om!

Tejo Sulistyo, Maestro Tari Jawa yang Ajeg Mencari Keparipurnaan

TELAH TERBIT

Judul: "Tejo Sulistyo, Maestro Tari Jawa yang Ajeg Mencari Keparipurnaan"
Penulis: Wahyu Budi Nugroho
Penerbit: Cipta Media, Yogyakarta
Cetakan I: Oktober 2016
ISBN: 978-602-7897-13-7


Sabtu, 14 Mei 2016

1001 Dosa Orangtua pada ANAK

TELAH TERBIT. Buku saya yang ke sekian. Ditulis bersama taipan bisnis billboard Jakarta sekaligus suami artis tanah air era 1990-an Minati Atmanegara: Alexander Felder. Buku ini merupakan “publikasi selingan” (baca: publikasi refreshing) saya di sela penulisan naskah-naskah lain yang lebih berat dan memusingkan. Sebagaimana judulnya yang tampak begitu “pop”, buku ini memuat konsep-konsep sosiologi keluarga termutakhir, diramu dengan beragam konsep aplikatif disiplin psikologi serta kewirausahaan secara ringan dan mudah dimengerti. Di balik sosoknya yang polos, buku ini berupaya mengritisi kultur feodal yang telah lama bercokol di tanah air, bahwa; “orangtua selalu benar”, “orangtua sarat diikuti tanpa perlu dipertanyakan”, pun yang terparah, kultur masyarakat kita yang seolah menganggap “anak sebagai hak milik orangtua”, yang dengan demikian sekedar menempatkan anak sebagai investasi orangtua di hari senja.


Ihwal yang begitu saya ingat dalam proses penulisan buku ini adalah wanti-wanti dari Pak Alex: “Mas Wahyu, Mas kan’ belum berkeluarga, nanti kalau ada yang tanya, gimana Mas Wahyu kok bisa nulis buku ini padahal Mas Wahyu belum berkeluarga, juga belum punya anak; terus gimana?”. “Oh, tenang Pak. Saya kan’ pernah jadi ‘anak’, dan sampai sekarang saya juga masih jadi ‘anak’, hehe”.


Judul: 1001 Dosa Orangtua pada Anak
Penulis: Alexander Felder, Wahyu Budi Nugroho, Lusia Gayatri Yosef
Penerbit: Herya Media & Hartika Publishing
Cetakan Pertama: Maret, 2016
ISBN: 978-602-1032-63-3
Harga: Rp 30.000,- (belum termasuk ongkos kirim)
Pemesanan: Septi (0812-9684-5052)

“Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu … Mereka terlahir melaluimu, tapi bukan darimu.
Meski mereka ada bersamamu, tapi mereka bukan milikmu…” [Kahlil Gibran]


Menyoal Fantasi dan Emansipasi dalam "Foodgasm"

Menyoal Fantasi dan Emansipasi dalam “Foodgasm”
Wahyu Budi Nugroho
Sosiologi Universitas Udayana
dimuat di Jurnal Widya Sosiopolitika Vol.6/No.2, Sept 2015



Abstract

This study pursues to seek the present exaggerated foodgasm phenomena with its social implications. Straightforward, foodgasm can be described as; “delightful sensation during eating”. The sensations not only exist in the “flavour” aspect or human sense of taste, but also visual aspect. In this case, fantasy is a crucial matter that has a vital role. Furthermore, this study pursues to formulate some emancipation alternatives of the fantasy, such as, from Jean Baudrillard’s “seduction” perspective, Roland Barthes’s semiotics methods, Slavoj Zizek’s fantasy and emancipation concept, and George Ritzer’s holocaust dimension theory of fast food restaurant. These prominent figures are intentionally defined as the visual-foodgasm phenomena and the tasteful-foodgasm phenomena are in the different fields, hence require different perspectives and theories to identify.

Keywords; foodgasm, fantasy, emancipation

Abstrak

Tulisan terkait berupaya mengkaji hadir dan merebaknya fenomena foodgasm dewasa ini beserta berbagai implikasi sosial yang dibawanya. Secara sederhana, foodgasm dapat diartikan sebagai; “sensasi menyenangkan saat makan”. Sensasi tersebut sesungguhnya tak sekedar menjamah aspek “rasa” atau pencecap manusia, melainkan pula aspek visual. Dalam hal ini, fantasi menjadi ihwal penting yang bermain di keduanya. Lebih jauh, pengkajian ini berupaya pula merumuskan alternatif-alternatif emansipasi (pembebasan) atas fantasi, di antaranya melalui perspektif “kecabulan” Jean Baudrillard, metode semiotika Roland Barthes, konsep fantasi dan emansipasi Slavoj Zizek, serta tak ketinggalan pemikiran George Ritzer tentang dimensi holocaust dalam restoran cepat saji. Berbagai tokoh dengan beragam perspektif tersebut sengaja disertakan mengingat fenomena foodgasm-visual dan foodgasm-rasa berada pada dua ranah yang berlainan, dan menuntut perspektif berikut teori yang berbeda pula dalam mengkajinya.

Kata kunci; foodgasm, fantasi, emansipasi


“We have to eat; we like to eat; eating make us feel good; it is more important than sex.”
[Robin Fox, Food & Eating]

Pendahuluan: Dari McDonaldisasi Masyarakat hingga Foodgasm
Dalam beberapa dekade terakhir, baik makanan (food) ataupun “cara makan” (eating) menjadi perhatian banyak pakar ilmu sosial di berbagai belahan dunia. Semisal, munculnya kajian Globalising Food (1997) dari David Goodman dan Michael J. Watts, kemudian Fast Food Nation (2002) karya Eric Schlosser, tak ketinggalan Geoff Andrews dengan The Slow Food Story (2008), dan masih banyak lagi. Namun, dari serangkai nama tokoh-tokoh tersebut, kiranya terdapat seorang tokoh gaek yang tak asing lagi membincang dimensi sosial makanan dan terkenal lewat kajiannya tentang “McDonaldisasi masyarakat” (McDonaldization of society), yaitu George Ritzer. Melalui kajiannya, Ritzer (2005: 565) tak sekedar menunjukkan nilai material dari sebuah makanan, tetapi juga bagaimana sebuah makanan sekaligus “cara memakannya” merepresentasi jejaring sistem sosial-kultural yang tengah berlangsung di masyarakat, bahkan dunia.

Pasca dipopulerkan Ritzer, kajian seputar dimensi sosial-humaniora makanan pun kian marak. Di samping ketiga tokoh yang telah disebut sebelumnya, terdapat pula analisis antropologis Robin Fox (2002: 1) yang melihat makanan sebagai simbol hospitality ‘keramah-tamahan’ serta kental dengan muatan altruisme sosial, yakni bagaimana makanan kerap dibagikan secara cuma-cuma dan disantap secara kolektif sehingga menumbuhkan rasa kebersamaan. Analisis Stewart R. Clegg (1996: 147, 150-151) mengenai bagguette (roti Perancis) juga tak kalah genit, ia mengaitkan bagguette dengan gejala posmodernisme di mana timbul kejenuhan masyarakat Barat akan standarisasi produk pangan modern, sehingga berbagai industri kecil pembuatan bagguette yang masih mempertahankan cara-cara lama; ukuran yang tak terstandar, kemasan yang biasa, serta roti yang tak tahan lama[1]; justru mampu bertahan dibanding perusahaan-perusahaan bagguette modern dengan kualitas jauh lebih baik.

Masih di ranah posmodernisme, dewasa ini muncul fenomena yang sering disebut sebagai “foodgasm”. Istilah tersebut berasal dari dua kata; yakni food ‘makanan’, dan orgasm ‘orgasme’. Pengertian “orgasme” di sini sebagaimana pengertiannya di ranah seksualitas: puncak kenikmatan atau kepuasan dalam hubungan seks; hanya saja, kulminasi kenikmatan tersebut berada di ranah konsumsi, yakni makanan. Secara sederhana, foodgasm sendiri dapat diartikan sebagai, “A pleasurable sensation from eating food” [“Sensasi yang menyenangkan dari (saat) memakan makanan”] (Neale, 2005: 170; Wilson, 2006: 350).[2] Sensasi tersebut dianggap tak ubahnya sensasi orgasme saat berhubungan seks. Namun demikian, pendefinisian ini dirasa masih sangat terbatas mengingat foodgasm turut bermain di ranah citra atau gambar. Dengan kata lain, sebelum ia menjamah indera pencecap, terlebih dahulu ia “bermain” di ranah visual; merekayasa ataupun memanipulasi penglihatan sehingga memaksa untuk mengonsumsinya. Serangkaian hal tersebutlah yang kiranya menarik dikaji lebih jauh dalam pembahasan ini, mengingat: pertama, masih begitu prematurnya pendefinisian tentang foodgasm sehingga dirasa kurang mampu merepresentasi fenomena terkait; dan kedua, masih jarangnya pembahasan seputar foodgasm dalam kerangka kajian sosial-humaniora yang cukup sistematis di tanah air.

“Kreativitas yang Diotomatiskan”: Pemroduksi Fantasi tanpa Batas
Istilah “kreativitas yang diotomatiskan” digunakan Robert Pepperell (2009: 203-204) guna menunjuk pada hadirnya era posthuman ‘pascamanusia’. Apa yang dimaksudkannya adalah, bila dahulu teknologi diciptakan manusia dan berstrata di bawahnya, maka kini teknologi bertempat sejajar dengan manusia, bahkan melampauinya. Ini mengingat, begitu akutnya ketergantungan manusia akan teknologi dewasa ini. Sebagai misal, kita tak dapat membayangkan hidup seminggu tanpa telepon genggam; seberapa banyak relasi bisnis kita akan hilang, seberapa besar kerugian finansial yang bakal diderita; dan akhirnya, seberapa kacau hidup kita dibuat tanpanya. Bagi Pepperell, superioritas teknologi atas manusia inilah yang kemudian turut menyebabkan bergesernya pemaknaan akan “kreativitas”. Apabila dahulu kreativitas ajeg diterjemahkan sebagai hasil cipta-manual tangan manusia yang kreatif, namun kini, kita telah terbiasa menggunakan beragam aplikasi teknologi guna menghasilkannya, semisal melalui; adobe photoshop, corel draw, atau microsoft office picture manager. Alhasil, kreativitas yang dihasilkan pun tak lagi murni berasal dari tangan manusia, melainkan teknologi. Pertanyaannya, masihkah hal yang demikian disebut sebagai kreativitas.

Terkait hal di atas, Jean Baudrillard (1988: 171-172) berkomentar ihwal betapa akutnya kehidupan simulatif berikut artifisial (buatan) yang mendera masyarakat kontemporer. Bagi Baudrillard, hal tersebut tak lain disebabkan oleh “simulakra”, yakni instrumen pengonversi hal-hal konkret pada abstrak, dan begitu pula sebaliknya: beragam hal abstrak pada konkret. Contoh sederhana simulakra dalam pengkajian ini adalah komputer.[3] Melalui beragam software di dalamnya, kita dapat membuat suatu citra yang awalnya biasa menjadi luar biasa, tak mungkin menjadi mungkin, pun tak menarik menjadi menarik. Sebagai misal, kita bisa menambahkan sayap pada foto manusia; atau seperti kerap kita saksikan dalam film-film hollywood, industri perfilman di sana nyaris, atau bahkan telah mampu mewujudkan beragam fantasi manusia ke dalam film, semisal Alice in Wonderland, Transformers, Avatar, Spiderman, dan lain sejenisnya.

Simulakra tersebutlah yang didaulat Baudrillard (1988: 166-167) menjadi biang munculnya “hiperealitas”, yakni hal-hal yang melampaui kenyataan; atau dapat pula: kenyataan baru yang melampaui kenyataan sebelumnya. Inilah mengapa, tak sedikit audiens yang terpengaruh dan bersikeras hendak menjadi tokoh yang disaksikannya dalam film. Bagi dunia advertising, simulakra sengaja digunakan untuk memberi “efek” pada suatu produk, mungkin dengan harapan merepresentasi produk seperti yang dikehendaki produsen. Citra yang dihasilkan simulakra tampak dilebih-lebihkan, dengan maksud memberi kesan pada konsumen agar mencoba atau mencicipi. Bagi Baudrillard, “kecabulan” pun tak terhindarkan sebagai dampak-ikutan kemudian, tak terkecuali pada citra-citra simulasi makanan.

Foodgasm sebagai Kecabulan
Istilah foodgasm dalam subbab ini menunjuk pada citra atau gambar makanan yang membuat mereka terpana melihatnya, pun tak jarang pula meneteskan air liur. Dengan demikian, pengkajian foodgasm sebagai citra lebih berkutat pada persoalan kode, simbol, serta ikon yang dipermainkan untuk memanipulasi penglihatan, serangkaian hal tersebutlah yang menggiring pada kecabulan. Dalam konteks ini, citra cabul atau kecabulan tak selalu berkenaan dengan pornografi atau pornoaksi, melainkan segala sesuatu yang “menggoda” dan “mengusik” (Baudrillard, 2006: 21-23, 49-50). Memang, ihwal termudah memisalkannya dengan pornografi; kecabulan yang melekat sesungguhnya tak ditemui pada citra-citra manusia telanjang (baca: vulgar), melainkan pada citra yang bersifat “semi”. Sebagian dari citra tertutup tersebutlah yang begitu mengusik dan menggoda—seperti apa wujudnya?—meskipun ia takkan pernah benar-benar diketahui. Namun sesungguhnya, di sinilah fungsi utama dari kode yang disembunyikan, yakni untuk terus “menjaga minat” atau antusiasme. Persoalan menjadi lain ketika segalanya telah terungkap, maka tak ada lagi yang menarik karena tak ada teka-teki untuk dipecahkan.

Begitu pula dengan banner atau spanduk yang memuat citra makanan di pinggiran jalan, ambilah misal sebuah banner besar bergambarkan burger; ia sesungguhnya cabul karena mengusik dan menggoda mereka yang melihatnya. Instrumen simulakra membuatnya seakan sedap disantap; degradasi yang digunakan untuk “menyangatkan” warna kulit roti, arah cahaya yang dibelokkan untuk membuat bagian pinggir daging tampak mengkilap, kecerahan keju dan selada yang dilebih-lebihkan agar tampak segar, serta mayones yang dibuat tampak lumer guna mengesankan kehangatannya di pencecap, juga memberi pesan bahwa ia tak boleh dibiarkan berlama-lama—sarat segera disantap. Tak lupa, sudut pengambilan gambar dari bawah ke atas sengaja digunakan untuk mengesankannya tampak besar, mewah, angkuh, serta prestis jika dapat dimiliki. Secara keseluruhan, kode yang berupaya dibangun adalah keidealan makanan ini dengan komposisi gizi seimbang antara hewani maupun nabati, atau setidaknya, memenuhi keduanya. Ikon yang tercetus kemudian pun menyirat burger tersebut sebagai makanan praktis, enak, mengenyangkan, dan menyehatkan.

Ekses dari serangkaian kodifikasi di atas adalah terpicunya fantasi untuk mencicipi. Sebagaimana diutarakan Baudrillard (2006: 51), “Godaan justru datang dari tanda-tanda yang kosong, samar, mentok, ngawur, dan kebetulan belaka; yang menggelincir dengan lancar sehingga mengubah indeks pembiasan ruang”. Apa yang dimaksudkannya adalah, citra burger di atas memang tak menyertakan teks guna menunjukkan berbagai pseudo kualitasnya secara eksplisit, melainkan secara samar; dan memang, demikianlah prinsip simbol: memuat informasi yang sangat sedikit (Berger, 2010: 19). Namun kiranya, melalui berbagai kode acak yang ditampilkannya—citra roti pembungkus, daging, keju, selada, dan lain sebagainya—ia telah secara jelas menuntun pikiran serta imajinasi audiens: bahwa cukup dengan melihatnya, seolah mereka telah memahami sensasinya. Pun, mengingat keberadaannya di ruang publik, maka ia dapat dijuluk sebagai “perkosaan visual”; sebentuk paksaan untuk terus berfantasi atasnya.

Membongkar Kecabulan: Semiotika dan Perlintasan Fantasi
Tentu, upaya tersahih guna membongkar beragam kodifikasi citra simulatif dapat dilakukan melalui analisis semiotika atau semiologi. Dalam hal ini, metode semiotika Roland Barthes yang memuat keberadaan lapisan semiotika tingkat pertama dan kedua dirasa cukup memadai. Dalam semiotika lapis pertama, ditemui citra sebagaimana adanya; bahwa citra tersebut adalah burger dengan berbagai bahan (komposisi) yang menyusunnya. Dengan kata lain, didapatkan “denotasi” dari citra tersebut. Selanjutnya, pada lapis kedua, sejumput pertanyaan mulai menyerua lewat pengamatan lebih seksama: mengapa tak ditemui obyek lain selain burger tersebut; tisu mungkin, asbak, atau yang lainnya; apakah ia berada dalam ruang hampa?. Mengapa ia tak dibungkus, atau berada dalam genggaman? Mengapa pilihan latar yang digunakan demikian? Bukan berlatar buku-buku, atau dapur tempat ia dibuat? Pun beragam pertanyaan lainnya.[4] Bagi Barthes (dalam Sunardi, 2002: 104-105), ketika audiens telah menjamah semiotika lapis kedua, maka ia telah mencapai “mitos”.

Mitos dalam sudut pandang Barthes (2009: 151-153) bukanlah mitos-mitos layaknya di era Yunani Kuno, melainkan sistem komunikasi yang mewujud sebagai “pesan” baik secara tertulis maupun representatif—citra, simbol, reportase, dan lain-lain, serta memiliki caranya sendiri untuk mengutarakan pesannya. Tegas dan jelasnya, ia merupakan “cara penandaan” atas sesuatu, dan sejauh segala sesuatu tersebut memuat wacana, maka ia mengandung mitos. Kiranya, mitos dalam citra burger terkait terjawab lewat serangkai pertanyaan di atas. Ia—burger—tak disandingkan dengan obyek-obyek lain karena dikhawatirkan bakal mengacau fokus. Begitu pula, ia tak terbungkus karena justru akan menyensor seluruh kode, adapun citranya yang bebas-apung bertujuan menciptakan kesan higienis; apabila ia telah tersentuh tangan, maka kesan tersebut sedikit-banyak akan hilang; dan beragam tafsir semiotik lainnya. Agaknya, contoh mitos termudah dapat dimisalkan lewat kemasan mie instan yang kerap ditemui di keseharian. Kemasan tersebut menambahkan kode-kode serta kategori guna merepresentasi varian citarasa yang ditawarkan, semisal; citra potongan daging ayam, belahan telur, potongan tomat, seledri, dan lain sebagainya; namun senyatanya, berbagai kategori tersebut tak pernah ditemui di dalamnya. Dengan demikian, ia hanyalah simbol berikut wacana kosong dan menemui bentuknya sebagai mitos.

Di ranah berlainan, Slavoj Zizek turut menawarkan solusi bagi subyek guna melepaskan diri dari fantasi. Mengamini Jacques Lacan, Zizek (2007: 40) menyatakan prinsip fantasi sebagai “Che voi?” [“Apa yang kau inginkan dariku?”]. Baginya, fantasi selalu berupaya mengatasi jarak antara subyek dengan realitas, dalam konteks ini, subyek dengan eksistensi burger secara konkret. Fantasi sengaja disuntikkan guna “menjaga minat” subyek, ini mengingat, ketika subyek dengan obyek fantasi tak berjarak, maka keinginan pun akan sirna. Dapatlah ditilik bagaimana kerja fantasi citra burger untuk terus menjaga animo dan menuntun subyek hingga mengonsumsinya. Inilah mengapa, Zizek turut mendaulat fantasi sebagai cara subyek mengatur jouissance ‘kenikmatan’-nya. Bagi Zizek (2008: 141), upaya guna melakukan emansipasi atasnya dapat dilakukan dengan traversing the fantasy ‘melintasi fantasi’. “…only ‘traversed’: all we have to do is experience how there is nothing ‘behind’ it” [“…hanya dengan ‘melintasinya’ (fantasi): kita akan mendapati pengalaman bahwa tak ada apapun ‘di balik’ itu (fantasi)”], tegas Zizek.

Ia—Zizek (1992: 5-6)—memisalkannya secara sederhana dengan “surat yang selalu sampai ke tujuan”. Faktual, terdapat “perbedaan rasa” ketika kita tengah menanti-nantikan surat tersebut dibanding saat kita telah memegang atau membacanya. Dalam konteks foodgasm, emansipasi melalui traversing the fantasy dapat termanifestasi lewat serangkai pertanyaan kritis sebagai berikut; Apakah kenikmatan saat memandang makanan tersebut tak ubahnya saat memakannya? Mungkinkah makanan yang tersaji sama persis dengan yang kita saksikan? Benarkah visualisasi makanan tersebut betul-betul menjamin dan merepresentasi kenikmatannya? Adakah rasa kenyang yang berbeda setelah kita menyantapnya dibanding dengan makanan lainnya?. Dengan kata lain, Zizek mengajak subyek untuk “seakan pernah mengalami” layaknya kasus “surat yang selalu sampai ke tujuan”; dengan demikian, fantasi pun terlampaui.

Jalan Lain Emansipasi:
Menakar Foodgasm sebagai “Holocaust” Gaya Baru
Apabila pada subbab sebelumnya pengkajian foodgasm berfokus pada wujudnya sebagai citra, maka subbab ini berfokus pada manifestasinya sebagai taste atau “rasa”. Sempat disinggung di muka betapa dewasa ini rumah makan cepat saji, atau apa yang diistilahkan Ritzer sebagai “McDonaldisasi masyarakat” tampak menggejala secara akut. Bagi Ritzer, mengguritanya restoran tersebut disebabkan oleh kesesuaiannya dengan jiwa zaman, apabila dahulu modernitas atau modernisasi selalu dikaitkan dengan birokrasi, maka kini ia adalah restoran cepat saji. Memang, restoran cepat saji memenuhi prinsip efisiensi dan efektifitas dalam masyarakat modern, namun Ritzer menengarai adanya berbagai problem akut yang menyertainya. Mengadopsi pemikiran Zygmunt Bauman ihwal holocaust-Nazi sebagai produk paripurna modernitas, Ritzer (2005: 564-577) mengadaptasikannya pada fenomena McDonalds yang merebak di berbagai belahan dunia. Lebih jelasnya, perhatikan tabel perbandingan antara holocaust-Nazi dengan McDonalds di bawah ini.[5]

Holocaust-Nazi
McDonalds
1.
Rasionalitas formal
Birokrasi sebagai alat. Birokrasi adalah organisasi yang dibentuk negara untuk melancarkan fungsi negara, salah satu karakternya ialah rasionalitas dengan spesialisasi, bertujuan untuk mencapai efisiensi tingkat tinggi.
Rasionalitas formal
Memberikan pesanan melalui jendela pada konsumen adalah cara paling cepat mencapai tujuan bagi kedua belah pihak. Pelayan mendapatkan uang dengan cepat, begitu pula dengan konsumen: mendapat pesanan dengan cepat.
2.
Efisiensi
Penggunaan gas lebih efisien untuk membunuh manusia ketimbang peluru. Melalui kalkulasi, seberapa banyak yang dapat dibunuh berbanding seberapa pendek waktu yang untuk melakukannya.
Efisiensi
Seberapa banyak pesanan yang dapat keluar, dan seberapa pendek waktu yang dibutuhkan untuk menyajikan pesanan tersebut.
3.
Prediktabilitas
Kamp konsentrasi di berbagai negara didesain serupa.
Prediktabilitas
McDonalds Amerika Serikat didesain serupa dengan McDonalds di berbagai belahan dunia.
4.
Teknologi nonmanusia
Kekuasaan dan peraturan-peraturan dalam kamp konsentrasi berdampak pada dehumanisasi.
Teknologi nonmanusia
Menggunakan koki yang tidak trampil, sekedar mengikuti petunjuk rinci dan metode garis peracikan yang ditetapkan dalam memasak dan menyajikan; berdampak pada dehumanisasi cara makan/makanan.
5.
Hanya berurusan pada dampak finansial dari tindakan yang dilakukan
Penggunaan gerbong oleh Nazi dengan menganggap manusia-manusia sebagai “angka”, yakni membiarkan mereka berdesak-desakan, dehidrasi dan menderita—perihal terpenting adalah  membawa muatan sebanyak-banyaknya dengan biaya termurah, cepat dan aman.
Hanya berurusan pada dampak finansial dari tindakan mereka
Penggunaan stereoform ‘gabus’ dalam penyajian makanan agar murah faktual menyebabkan penyakit kanker. McDonald’s menuai protes konsumen vegetarian karena lebih dari sepuluh tahun berbohong tak menggunakan lemak nabati untuk menggoreng kentang iris, melainkan lemak sapi.
6.
Pekerja yang tak digaji
Yahudi bekerja dalam pabrik-pabrik tanpa menerima upah.
Dalam sistem, Yahudi dipaksa melepaskan pakaiannya sendiri, masuk ke kamp gas sendiri, Yahudi-Yahudi yang masih tersisa diperintahkan untuk membersihkan mayat saudaranya sendiri (membawanya ke tungku pembakaran).
Tubuh mereka juga digunakan sebagai bahan membuat sabun, kain, dll. (tidak ada yang tersisa).
Pelanggan menjadi pekerja yang tak digaji
Pelanggan McDonalds membumbui makanannya sendiri, serta membersihkan kotorannya sendiri (terlebih jika pesanan tak dimakan di tempat).

Melalui kolom “teknologi nonmanusia” di atas, dapatlah ditilik betapa foodgasm-rasa yang dihadirkan restoran cepat saji tak lain sekedar prosedur teknis semata,[6] yakni telah ditemuinya takaran serta racikan baku untuk memasak beragam menu yang ditawarkan. Ritzer mengistilahkannya sebagai “dehumanisasi cara makan” mengingat tak ditemuinya perbedaan antara bagaimana peternak memberi makan hewan-hewan ternaknya dengan bagaimana proses dan cara McDonalds menyajikan makanan bagi para pelanggannya. Patut disayangkan, dewasa ini tak sedikit rumah makan tanah air yang justru mengadopsi sistem dan cara kerja restoran cepat saji Barat; baik rumah makan lokal yang sengaja me-McDonaldisasi-kan dirinya, ataupun rumah makan lokal pada umumnya. Orientasi foodgasm yang berupaya mereka sajikan pada setiap pelanggan melalui pembakuan proses pengolahan makanan, tanpa disadari justru berdampak pada dehumanisasi cara makan berikut eksploitasi dimensi “rasa” manusia.

Dapatlah dikatakan, pengalaman foodgasm dengan sengaja mematikan sensibilitas indera pencecap untuk selalu mencapai ektase, dan ini tak ubahnya kecabulan. Sebagaimana diutarakan Baudrillard (2006: 14), “Ekstase adalah kondisi di mana seluruh fungsi diciutkan dalam satu dimensi… Seluruh peristiwa, ruang, dan ingatan dimampatkan dalam dimensi tunggal ‘informasi’[7], dan inilah kecabulan”. Parahnya, demi mewujudkan sensasi aktivitas makan sekaligus menjadikannya candu, para produsen foodgasm cepat saji seolah menutup mata dari penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya bagi kesehatan (Schlosser, 2002: 15, 91). Pada akhirnya, vis-à-vis antara kenikmatan aktivitas makan dengan dimensi kemanusiaan pun sarat dikalkulasikan kembali.

Kesimpulan dan Penutup
Melalui berbagai uraian yang telah disampaikan sebelumnya, kiranya telah dipaparkan secara jelas tentang bagaimana fantasi bermain dalam foodgasm. Secara visual, kehadirannya tak terlepas dari kode yang disimulasikan secara apik sehingga melahirkan hiperealitas yang mengusik dan menggoda. Di satu sisi, perwujudannya di ranah taste ‘rasa’ faktual sekedar menemui bentuknya sebagai prosedur teknis yang bernegasi dengan nilai-nilai konsumsi kemanusiaan. Tak pelak, kedua persoalan tersebut menuntut alternatif emansipasi yang berbeda bagi setiapnya. Metode semiotika Roland Barthes dan perlintasan fantasi Slavoj Zizek agaknya telah berhasil membongkar kepalsuan fantasi foodgasm-visual. Di sisi lain, problem foodgasm-rasa kiranya terjawab melalui pengalkulasian kembali besaran resiko yang ditimbulkan foodgasm atas kemanusiaan. Terminus “kemanusiaan” sebagaimana dimaksudkan di sini tidaklah sekedar menjamah dimensi humanisme yang bersifat filosofis lagi abstrak, melainkan pula wujudnya secara konkret, yakni kesehatan dan keamanan manusia. Kini, persoalan yang tertinggal hanyalah mengomunikasikan berbagai temuan di atas kepada awam secara mudah.


*****


Referensi

Barthes, Roland, 2009, Mitologi, Kreasi Wacana.
Baudrillard, Jean, 2006, Ekstasi Komunikasi, Kreasi Wacana.
Baudrillard, Jean, 1998, Simulacra and Simulations, Stanford University Press.
Berger, Arthur Asa, 2010, Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, Tiara Wacana.
Clegg, Stewart R., 1996, Roti Perancis, Fashion Italia dan Bisnis Asia, Kreasi Wacana.
Fox, Robin, 2002, Food & Eating: An Anthropological Perspective, Oxford University Press.
Neale, Naomi, 2005, The Mile-High Hair Club, Books in Motion.
Pepperell, Robert, 2009, Posthuman: Kompleksitas Kesadaran, Manusia dan Teknologi, Kreasi Wacana.
Ritzer, George & Douglas J. Goodman, 2005, Teori Sosiologi Modern, Kencana.
Schlosser, Eric, 2002, Fast Food Nation, Penguin Books.
Sunardi, ST., 2002, Semiotika Negativa, Kanal.
Wilson, Elisabeth, 2006, Goddes: Be the Woman You Want to Be, Infinite Ideas.
Zizek, Slavoj, 1992, Enjoy Your Symptom!, Routledge.
Zizek, Slavoj, 2007, How to Read Lacan, WW Norton & Company.
Zizek, Slavoj, 2008, The Sublime Object of Ideology, Verso.


Tentang Penulis

Wahyu Budi Nugroho. Merupakan staf pengajar pada Prodi Sosiologi, Fisip-Udayana. Memiliki minat studi pada tema seputar pengkajian aktor dan agensi sosial. Tulisannya telah tersebar di berbagai media cetak dan elektronik lokal maupun nasional, serta berbagai jurnal ilmiah. Beberapa buku yang telah ditulisnya antara lain; Koruptorrajim: Surat-surat Cinta untuk KPK (bersama Edi Akhiles, dkk., IRCiSoD, 2012), Orang Lain adalah Neraka: Sosiologi Eksistensialisme Jean Paul Sartre (Pustaka Pelajar, 2013), Alienasi, Fenomenologi, dan Pembebasan Individu (bersama Dr. M. Supraja, LOGIS, 2013), Menuju Teknologi Transkomunitas (bersama Dr. M. Supraja, LOGIS 2014), serta buku seri kuliah lapangan Teknologi Tepat Guna yang Berpihak pada Penguatan Kesejahteraan Masyarakat (LPPM-UGM, 2014). Hingga kini aktif menuangkan ide-idenya di http://kolomsosiologi.blogspot.com/.





[1] Harus segera disantap setelah jadi.
[2] Istilah foodgasm untuk pertama kali muncul dan populer melalui budaya pop, yakni lewat novel yang ditulis Naomi Neale dan buku motivasi populer karya Elisabeth Wilson.
[3] Semisal lain simuakra seperti; televisi, kamera profesional, lukisan, teks, bahkan juga “peristiwa” menurut Baudrillard.
[4] Secara langsung, serangkai pertanyaan ini menyentuh konsep Barthes tentang camera lucida: dimana ada citra yang ditampilkan, di situ selalu ada citra yang disembunyikan.
[5] Tabel diolah oleh penulis.
[6] Termasuk dalam teknis penyajian atau pengemasan sehingga memicu timbulnya foodgasm-visual.
[7] Istilah “informasi” di sini mencakup seluruh dimensi sensorik manusia, tak terkecuali indera pengecap.

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger